Selasa, 10 Desember 2019

Pullorum

Penyakit pullorum merupakan penyakit menular pada ayam yang disebabkan oleh bakteri Salmonella pullorum. Karekateristik penyakit ini adalah berak putih sehingga disebut sebagai penyakit berak kapur. Pullorum ini menimbulkan kerugian ekonomi yang tinggi karena dapat menyerang anak ayam umur 2-3 minggu dengan angka morbiditas 40% dengan angka mortalitas 80 s.d 100 %. Selain itu dapat mengakibatkan penurunan produksi telur atau penurunan daya tetas dan kematian embrio. Perlu diketahui bahwa gejala pullorum pada ayam dewasa tidak menimbulkan kematian namun bertindak sebagai reservoir atau carier yang dapat menularkan secara vertical dan horizontal.

Lanjut membaca “Pullorum”  »»

Senin, 18 April 2016

WASPADA ANTRAKS

          Penyakit akut yang disebabkan bakteria Bacillus anthracis dan sangat mematikan dalam bentuknya yang paling ganas. Antraks paling sering menyerang semua hewan berdarah panas terutama sapi, kerbau, kambing, domba, babi, kuda. Penyakit ini tergolong penyakit zoonosis yang dapat mengakibatkan kematian.

Lanjut membaca “WASPADA ANTRAKS”  »»

Rabu, 02 Desember 2015

Epidemiologi Lapangan

Epidemiologi di berbagai daerah kabupaten kota di Indonesia telah mulai dikembangkan dalam rangka pengambilan keputusan strategis oleh pengambil kebijakan. Demikian pula di Provinsi Sulawesi Utara yang terdiri dari 15 Kabupaten Kota dengan potensi ekonomi di bidang peternakan yang sedang berkembang. Epidemiologi adalah strategi/metode yang sangat penting untuk dipahami oleh paravet/dokter hewan dilapangan dalam rangka menganalisis penyakit prioritas maupun penyakit strategis telah ada. Keterampilan epidemiologi lapangan membantu paravet untuk menelaah hewan individual yang sakit serta mempertimbangkan pola dan penyebab penyakit pada populasi yang lebih luas. Pendekatan yang lebih luas ini akan membantu paravet untuk mengobati hewan individual yang sakit dengan lebih efektif dan memberikan saran yang lebih baik kepada peternak dalam rangka mengendalikan penyebaran penyakit, mencegah peningkatan angka kematian atau kesakitan, serta mengurangi gangguan kronis pada ternak

Bagi Dokter Hewan :

1. Menerapkan keterampilan epidemiologi dalam merencanakan, mengimplementasikan, menganalisis, dan melaporkan kegiatan investigasi penyakit. Hal ini meliputi kajian investigasi lapangan tambahan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai penyebab penyakit dan membantu dalam penyusunan strategi pengendalian yang optimal;

2. Memahami bagaimana menafsirkan data dan informasi uji diagnostik. Menerapkan tafsiran hasil uji diagnostik pada kegiatan investigasi penyakit dan pengendalian penyakit, termasuk pengembangan dan penafsiran uji diagnostik baru;

3. Menggambarkan, menilai, dan membandingkan pilihan untuk pengendalian atau pemberantasan penyakit hewan

Lanjut membaca “Epidemiologi Lapangan”  »»

Kamis, 25 Juni 2015

KIE Zoonosis Tumatangtang dan Tumatangtang Satu

Kota Tomohon adalah salah satu kota di Sulawesi Utara yang berudara sejuk dengan panorama pegunungan yang indah. Dengan vegetasi alam yang mendukung tanaman bunga bisa tumbuh dan berkembang. Di kota ini anda akan banyak menemukan beraneka jenis bunga, ini menjadikan Kota Tomohon sebagai Kota Bunga. Emmm.. sebagai kota bunga yang mengundang wisatawan masuk tentu kenyamanan adalah hal yang paling utama.

Mendukung kenyamanan di Kota ini Dinas Pertanian Peternakan dan Perikanan Kota Tomohon bersama Balai Keswan dan Kesmavet Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Utara yang didukung oleh Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen telah melaksanakan kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi KIE Penyakit Zoonosis Rabies di Kelurahan Tumatangtang, Kelurahan Tumatangtang Satu dan di Sekolah Dasar Inpres Tumatangtang Kecamatan Tomohon Selatan di Bulan Juni 2015. Kegiatan KIE zoonosis ini dibarengi dengan kegiatan vaksinasi rabies dan pendataan HPR. …….Sukses ……….

Lanjut membaca “KIE Zoonosis Tumatangtang dan Tumatangtang Satu”  »»

Diagnosa ???

Bagi penyayang hewan, anjing dan kucing sudah dianggap sebagai salah satu keluarga . Itulah sebabnya kalau ada hewan kesayangan yang sakit apalagi mati, terkadang kitapun turut merasakan sakit atau berduka. Padahal masih banyak anjing dan kucing yang lucu yang lebih baik dan lebih lucu yang dapat dibeli kembali. Kenapa? Ini disebabakan karena adanya hubungan antara manusia dan hewan (human-animal bond) antara pemeliharanya dengan hewan sehingga tidak ingin berpisah.
br> Banyak benda dan bibit penyakit yang dapt mencederai dan menyebabkan penyakit pada anjing dan kucing kesayangan yang ada disekitar kita, bahkan dapat membahayakan diri pemeliharanya. Bila anjing dan kucing tidak dipelihara dengan baik dan dijaga, sangat mustahil hewan tersebut terhindar dari bahaya kecelakan dan penyakit. (Dharmojono, 2002). Tujuan dari pemeriksaan klinis adalah untuk menentukan diagnosis. Banyak penyakit yang dapat ditentukan diagnosis khasnya dengan mendasarkan atas riwayat penyakit kejadian penyakit serta pemeriksaan fisis pada hewan penderitanya. Gangguan –gangguan klinis pada hewan yang diperiksa tidak selalu dapat dikenal batasan –batsannya hingga diagnosis pun tidak selalu dapat ditentukan . Dalam hal demikian ahli klinik harus berusaha menentukan masalahnya setuntas mungkin dan memulai dengan melakukan pengobatan atau tindakan pencegahan. Sebelum gangguan yang definitive,atau diagnosis pasti dapat ditentukan . Apabila hal tersebut tidak dapat dilakukan mungkin seekor hewan akan makin menderita, keadaannya menjadi makin buruk atau malahan dapat mengalami kematian.
br> Apabila diagnosis pasti tidak dapat ditentukan pada awal kejadian penyakit, dipandang perlu untuk menyusun daftar permasalahan yang mencangkup semua gejala klinis yang dapat diamati pemilik atau perawat hewan, dan gejala klinis atau gangguan fungsi organik yang ditemukan waktu mengadakan pemeriksaan fisis. Daftar permasalahan tersebut kemudian diperiksa dan diteliti adanya kaitan diantara masalah-masalah yang disusun. Masalah-masalah yang saling berkaitan dikelompokkan dalam satu kelompok masalah. Untuk masing-masing kelompok biasanya ada beberapa penyebab yang sifatnya potensial. Beberapa penyebab tersebut disusun dalam suatu diagnosa banding, differensial diagnosa bagi masing-masing kelompok masalah. Diagnosis yang dianggap penting mungkin diduga menjadi penyebab gangguan atau sebaliknya dianggap tidak penting lagi. Setelah dilakukannnya uji laboratorium secara khusus, tidak jarang pula diagnosis baru dapat ditentukan berdasarkan hasil pengobatan khusus, atau biasanya juga berasal dari pemeriksaan pasca mati. (Subronto,)

Lanjut membaca “Diagnosa ???”  »»

iSIKHNAS

sistem informasi kesehatan hewan Indonesia yang mutakhir. Sistem ini menggunakan teknologi sehari-hari dalam cara yang sederhana namun cerdas untuk mengumpulkan data dari lapangan dan dengan segera menyediakannya bagi para pemangku kepentingan dalam bentuk yang bermakna dan dapat segera dimanfaatkan. Sistem ini memiliki prinsip prinsip : Laporan per aktivitas bukan rangkuman, sekali dilaporkan per kejadian; Laporan langsung dari lapangan (Petugas/peternak); Mengurangi beban kerja untuk laporan rutin petugas; Aman, pengguna harus terdaftar; Sederhana; Fleksibel, menyesuaikan kebutuhan; Umpan balik otomatis dari berbagai portal (sms, email, web); Akses data mudah dan cepat; Memberikan manfaat untuk semua pengguna disemua tingkatan.

Kebijakan pemerintah saat ini yaitu satu program pencegahan pengendalian pemberantasan penyakit hewan menular yang dilaksanakan secara bertahap dan berdasarkan prioritas yang dikenal sebagai “Penyakit Hewan Menular Strategis” Yaitu penyakit hewan yang berdampak bagi kerugian ekonomi secara luas karena bersifat menular, menyebar dengan cepat dan berakibat fatal, mencapai angka morbiditas dan mortalitas tinggi dan memiliki potensi mengancam kesehatan masyarakat. Melihat akibat kerugian ekonomi dan zoonosis maka perlu landasan hukum untuk mengatur kebijakan strategis kesehatan hewan nasional

Sesuai dengan amanat UU No. 18 Tahun Pasal 45 Ayat 1 Tahun 2009 bahwa Setiap orang, termasuk peternak, pemilik hewan, dan perusahaan peternakan yang berusaha di bidang peternakan yang mengetahui terjadinya penyakit hewan menular wajib melaporkan kejadian tersebut kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau dokter hewan berwenang setempat. Untuk itu perlu adanya sebuah sistem informasi kesehatan hewan terpadu yang disebut (iSIKHNAS), dalam rangka penanggulangan secara cepat efektif dan efesien. Tentu sistem yang dibangun ini akan memberikan suasana yang jauh berbeda dengan sistem yang lama.

Lanjut membaca “iSIKHNAS”  »»

Jumat, 13 Desember 2013

Sistem Kesehatan Hewan Nasional

Sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) termasuk didalamnya sistem pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, memiliki banyak kelemahan. Kelemahan tersebut mengakibatkan sistem tidak dapat berjalan efektif, oleh karena diimplementasikan tanpa dibarengi pemahaman dan pengetahuan yang luas dan mendalam tentang epidemiologi penyakit hewan menular dan cara-cara pengendaliannya. Padahal keberhasilan sistem tersebut ditentukan oleh kemampuan negara dalam mengendalikan dan kemudian membebaskan diri dari berjangkitnya penyakit hewan menular.

Kelemahan siskeswannnas merupakan penyebab utama timbulnya kerugian akibat berjangkitnya penyakit hewan menular. Penyakit hewan menular yang berdampak terhadap produksi ternak seringkali menjadi salah satu kendala utama dalam peningkatan produksi ternak dan juga tertutupnya akses ekspor ternak dan produk ternak. Bahkan dapat menjadi ancaman terhadap kesehatan manusia apabila penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis).

Di sisi lain, satu kenyataan yang tidak bisa dihindari adalah dimana penyakit-penyakit hewan menular yang mampu menyebar dari satu negara ke negara lain dan bahkan dari satu benua ke benua lain yang disebut sebagai penyakit-penyakit hewan lintas batas (transboundary animal diseases) semakin meningkat di era globalisasi perdagangan dan transportasi ini.

Kelemahan siskeswannas

Berbagai macam faktor menjadi penyebab dari kelemahan siskeswannas tersebut. Banyak contoh di negara berkembang dimana pelayanan kesehatan hewan tidak memperoleh sumberdaya yang memadai dari pemerintah, terutama untuk membangun dan memfungsikan laboratorium dan klinik lapangan, melengkapi peralatan dan tenaga teknis serta alokasi biaya operasional.

Begitu juga halnya di Indonesia, permasalahan mendasar dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular pada umumnya adalah kurang memadainya sumberdaya manusia, terbatasnya kemampuan mobilitas, minimnya kapasitas laboratorium dan biaya operasional. Kadangkala masalah yang dihadapi bukan hanya tidak memadai atau minim, bahkan di beberapa provinsi atau kabupaten tidak tersedia sama sekali.

Pengaruh dari kelangkaan dan rendahnya kualitas pelatihan dari tenaga teknis lapangan yang memberikan pelayanan kesehatan hewan di lapangan, ditambah dengan terbatasnya fasilitas penelitian yang tersedia di negara-negara berkembang sangat dirasakan pengaruhnya dalam ketepatan dan kecepatan deteksi dan respon cepat terhadap penyakit hewan menular.

Kelemahan utama pada kebanyakan negara berkembang adalah ketidakberdayaan menghadapi penyakit-penyakit eksotik dan ketidakmampuan dalam mendiagnosa penyakit-penyakit tersebut secara cepat dan memberantas seketika penyakit-penyakit eksotik tersebut ketika ditemukan. Pada umumnya penyakit-penyakit eksotik yang biaya pengendaliannya sangat mahal hanya dapat dicegah atau diberantas bilamana masuknya penyakit tersebut dapat didiagnosa secara akurat dan cepat.

Dokter hewan pemerintah

Ketersediaan tenaga dokter hewan cenderung terkonsentrasi pada tingkat administrasi yang lebih tinggi di pemerintahan, apabila dibandingkan dengan sangat sedikitnya tenaga dokter hewan pemerintah terlatih dengan atau tanpa gelar tambahan yang berada di lapangan.

Dokter hewan pemerintah yang ada di lapangan kadang-kadang menerima pelatihan teknis pada saat berdinas (in-service training). Padahal sesungguhnya para dokter hewan tersebut adalah pelaksana-pelaksana kunci yang terjun langsung dalam realitas penyakit hewan dan bertanggung jawab terhadap diagnosa penyakit baik pada individu ternak maupun kawanan ternak.

Kinerja siskeswannas ditentukan melalui laporan-laporan mereka ke tingkat kabupaten, kemudian ke tingkat propinsi dan akhirnya dikompilasi secara nasional. Hal ini memberikan gambaran bahwa sejumlah besar dokter hewan yang berada di akar rumput yang tingkat pengetahuan dan ketrampilannya perlu terus menerus ditingkatkan adalah orang-orang yang berperan besar dalam menghasilkan informasi yang digunakan untuk menyusun dasar kebijakan siskeswannas di tingkat nasional.

Padahal pada kenyataannya seringkali individu-individu dokter hewan pemerintah tersebut kekurangan sarana mobilitas dan peralatan teknis yang diperlukan, meski tanggung jawabnya acapkali menjangkau wilayah-wilayah yang luas dengan komunikasi yang sulit. Jelas hal inilah yang menjadi sebab mengapa data dasar – baik itu prevalensi penyakit, kerugian penyakit maupun efektivitas tindakan pengendalian – yang dijadikan sebagai masukan bagi otoritas veteriner untuk membuat kebijakan menjadi memprihatinkan dan kurang memadai dari segi kuantitas maupun kualitas.

Hambatan akibat ketidak tersediaan suatu bagian saja yang dianggap penting dapat merembet ke keseluruhan pelayanan kesehatan hewan di lapangan. Contohnya tidak tersedianya alat transportasi buat tenaga teknis lapangan, tidak tersedianya peralatan dan suku cadang kendaraan, hilang atau rusaknya peralatan laboratorium, tidak tersedianya sarana komunikasi yang cepat dan lain sebagainya.

Tenaga-tenaga dokter hewan pemerintah sering harus ditempatkan di wilayah-wilayah terpencil dengan kelayakan sarana dan prasarana yang sangat terbatas. Oleh sebab itu kebanyakan mereka lebih suka untuk tinggal di wilayah-wilayah yang memiliki fasilitas cukup dan bahkan kepentingan untuk menjangkau layanan internet. Wajarlah kalau dilihat bahwa dokter hewan pemerintah lebih suka untuk bermukim di pusat pemerintahan atau paling tidak di kota-kota besar.

Prasyarat program

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), ada empat prasayarat yang harus dipenuhi negara berkembang dalam melaksanakan program-program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular yang efektif.

Prasyarat pertama adalah adanya suatu kebijaksanaan nasional yang jelas dan implementatif. Oleh karena produksi ternak adalah penting bagi perekonomian di tingkat desa, kecamatan, kabupaten maupun nasional, maka upaya penanganan dan sumberdaya harus dicurahkan untuk mencegah masuknya penyakit-penyakit eksotik serta mengendalikan dan memberantas penyakit-penyakit endemik.

Biaya pencegahan masuknya penyakit eksotik memang cukup mahal terutama dalam menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan termasuk kepentingan untuk memiliki laboratorium bio-safety tingkat 3 (BSL 3), akan tetapi secara ekonomis hal ini sangat menguntungkan bagi negara tersebut.

Prasyarat kedua adalah adanya suatu pasukan veteriner lapangan yang aktif dan dapat dimobilisasi setiap saat diperlukan. Pasukan ini bekerja mengumpulkan sampel dalam rangka surveilans pasif maupun aktif, melancarkan pengobatan dan vaksinasi serta melaksanakan banyak tugas-tugas lainnya yang diperlukan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan epidemiologi penyakit.

Tentunya tenaga-tenaga veteriner lapangan haruslah diperlengkapi dengan alat mobilisasi, prasarana dan sarana yang diperlukan dan ditempatkan di wilayah-wilayah padat ternak. Pentingnya keberadaan pasukan veteriner lapangan terutama di wilayah-wilayah padat ternak perlu lebih mendapatkan penghargaan dari pemerintah setempat.

Prasyarat ketiga adalah dukungan laboratorium veteriner yang mampu mendiagnosa secara akurat dan tepat waktu. Seringkali untuk membuat laboratorium yang berfungsi baik, diperlukan biaya yang besar. Pada kenyataannya peran laboratorium kurang diperhatikan oleh pemerintah, sehingga investasi di bidang ini sangat tidak memadai.

Prasyarat keempat adalah pelatihan yang cukup dan disesuaikan dengan tingkat kepraktisan yang dibutuhkan. Pada kenyataannya pelatihan-pelatihan yang diterima terutama bagi tenaga-tenaga veteriner lapangan seringkali sangat sedikit dan jarang.

Surveilans dan monitoring

Program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dalam kenyataannya memerlukan organisasi dan pembiayaan jauh lebih besar dari yang mampu disediakan. Tidaklah heran dibawah suasana seperti ini, maka Indonesia belum berhasil memberantas penyakit-penyakit hewan menular seperti rabies, anthrax, brucellosis, flu burung dan lainnya. Pada dasarnya disebabkan tidak tersedianya anggaran yang memadai untuk penyediaan uji diagnostik yang dapat dipercaya dan vaksin yang efektif.

Kejadian wabah penyakit flu burung atau avian influenza yang menjangkiti Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini mengindikasikan adanya kelemahan peraturan perundangan dalam upaya pengendalian dan pemberantasannya. Oleh sebab itu, tidak dapat dihindarkan bahwa penyakit avian influenza pada akhirnya menjadi suatu penyakit yang gambaran epidemiologisnya belum dapat diuraikan secara baik dan situasinya sudah menjadi endemik.

Penyakit-penyakit hewan menular tidak mengenal batas wilayah kecuali apabila terdapat perintang alamiah. Mengingat hal ini, sangat penting bahwa dalam program pengendalian dan pemberantasan harus dikedepankan upaya surveilans dan monitoring yang seharusnya dilaksanakan di setiap wilayah, terutama yang berisiko tinggi, seperti daerah yang berbatasan dengan negara atau wilayah tertular.

Surveilans dan monitoring bukan hanya harus dilakukan terhadap penyakit-penyakit hewan menular yang bersifat endemik, akan tetapi juga terhadap penyakit eksotik. Oleh karena itu, apabila surveilans dan monitoring terhadap penyakit mulut dan kuku (PMK) tidak dilakukan secara berkelanjutan, maka Indonesia sebagai negara yang bebas PMK akan menderita kerugian ekonomi yang besar apabila penyakit ini masuk atau muncul kembali.

Kompensasi dan vaksinasi

Seringkali kendala dalam melaksanakan program-program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular adalah keterbatasan atau tidak tersedianya sama sekali dana ganti rugi atau kompensasi yang pantas bagi peternak yang ternaknya menderita atau terpapar penyakit dan harus dimusnahkan. Tidaklah mungkin untuk mendapatkan dukungan peternak atau industri bilamana ternak-ternak yang harus dimusnahkan tersebut tidak memperoleh kompensasi yang pantas.

Faktanya program vaksinasi lebih banyak dilaksanakan dan hanya sedikit program-program seperti ”uji dan potong” (test and slaughter) atau pemusnahan menyeluruh (stamping out) dalam radius tertentu, mengingat secara ekonomi program vaksinasi lebih disukai dalam upaya mengendalikan dan memberantas penyakit.

Pada kenyataan dimana pemusnahan ternak dilakukan tanpa disertai ganti rugi yang pantas, maka pemilik ternak atau industri cenderung untuk tidak melaporkan kejadian penyakit. Tidak dilaporkannya kejadian penyakit sudah tentu menghambat kelancaran program atau bahkan menjadikan pelaksanaan program pemberantasan tidak memungkinkan sama sekali.

Kebutuhan paling kritis yang perlu diantisipasi adalah penyediaan dana kompensasi yang pantas ketika suatu wabah penyakit eksotik telah berjangkit. Seringkali bermilyar-milyar rupiah dipertaruhkan bergantung pada seberapa cepat kawanan-kawanan ternak yang tertular dapat diasingkan dan dimusnahkan untuk mencegah agar wabah dapat dihentikan dan penyebaran tidak meluas. Upaya penghentian wabah harus dianggap sebagai tindakan darurat untuk mencegah sedapat mungkin penyakit eksotik tersebut menjadi endemik. Pada kurun waktu kritis demikian, kompensasi kerugian haruslah pantas untuk menjamin pelaporan penyakit dan kerjasama yang baik dari peternak atau industri.

Kata Kunci : siskeswannas, epidemiologi, zoonosis, transboundary animal diseases, penyakit-penyakit eksotik, BSL 3,Surveilans dan monitoring.

DRH TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS, MPHIL, PHD
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS)

Lanjut membaca “Sistem Kesehatan Hewan Nasional”  »»